Selasa, 09 Desember 2008

sajak Hang Kafrawi

Sajak-sajak Hang Kafrawi



pada subuh yang mengumpal

subuh mengumpal di hati
lubuklubuk sunyi aku daki
zikir bulan mengalir purnama
laut cahaya terbentang ke jiwa

wajahku telah menanti
aku sangsikan juga diri
mengaligali gelap hari
matahari melapuk mimpi

sujud yang kudedahkan darah
membangun kisah dari gelisah
sendiri aku ziarah rumah kalah
tak ingin aku menyerah

seperti air aku mengalir
ke cerukceruk nadir lahir
terus berlayar perahu zikir
tak juga sampai zahir

ini jiwa tak kan lelah
makam makam di dada merekah
sayapsayap jiwa menyerlah
terbang aku mengepal tanah

asal mula adalah aku
merajut segala waktu
dari rerumput berdebu
membujuk tasik nafsu

kini pada subuh yang mengumpal, aku bawa selaut rindu untuk menyerah padaMu. aku tak mampu menafsir gelap dengan kebutaan hati. pelayaran yang Kau bentang di gelombang insangku, menciptakan kehausan yang tak pernah reda. aku kekeringan di musim hujan, tanpa airMu. aku kegelapan di siang yang menyerang, tanpa cahayaMu. kini pada subuh yang mengumpal, aku menyerah kepadaMu. Allah aku tunduk.






ada aku di dalamnya

…dan malam pun merencis sunyi, menikam rindu berdarah sukma. kenangan yang kau bentang di ujung gelap seperti bunga api mekar. aku dibakar perih, ada hati tak sampai ke purnama. sayap-sayap waktu terkulai meredam ombak luka. kau lantunkan taman nyanyian yang kita pahat dari angin. berabad-abad jalan yang kita tempuh hanya jadi debu karena aku tak kenal masa lalu. kau hidang juga kesetiaan di atas air mata dan membiarkan musim menghimpit almanak dalam dadamu. seperti apa kau memahami pilu? jiwa yang ditikam kemarau masih tegak menatap embun yang lenyap.

...dan kau pun seperti bunga pagi, titip ingin pada terang tanah. hari-harimu medendang senyum, hela nestapa ke ceruk dahaga. matamu yang sembunyi duka ada aku di dalamnya.



kita angin yang bertiup

kitalah yang membiarkan luka terus menganga
ketakutan seperti matahari berkunjung tiap pagi
kita pun mengasingkan diri dari tumbuh sendiri
waktu-waktu singgah membentang jarum duka

pada setiap harap ada kekalahan menikam
kita merajuk, mengiba dalam ruang sepi
mengutuk perjalanan semakin menghitam
kelam itu menjadi api dari bara mati diri

meraut kehampaan yang kita kebat
ada wajah derita kita menjelma
nak belayar perahu duka tertambat
di pelabuhan air mata kita terlena

angin itu adalah kita
tapi kita lupa
lupa adanya
ada dan tak ada
angin terus bertiup
dan kita masih saja lupa







puas, tak puas, tak

kita semai juga harap di taman tandus
tanah merekah pada tangan yang menadah
bertahun-tahun kita merindukan hujan
namun hati terbakar kemarau tak juga usai
lindap waktu yang kita tunggu
songsang hari yang kita impi
kerontang jiwa yang kita jaga
penantian menjadi ketakutan menusuk kalbu
disaat kepastian menguap lesap

masih juga kita percaya pada cahaya yang meredup di balik malam, setelah kepercayaan pada siang hilang. kita menggali-gali terang dari kunang-kunang; tak terbilang malang berdendang di antara padang gersang. kita tak juga berhenti menabuh gendang, nak mengangkat parang menebas ilalang yang menghalang pandang.





anak yang kau pangang dalam sepi

tubuhmu merekah dililit peluh, lahirkan badai yang kau dekap dengan air mata. hutan, sungai, laut mengumah tandus dan kering, menikam nyanyian yang kau gadai pada waktu. tak ada tempat nak melepas sedih karena sedih adalah dirimu. kau dikalahkan musim, dibunuh beribu-ribu bisu. berabad-abad kematian mengubur keinginan yang baru pandai kau belai. kau coba bertahan, luka terus menganga terbentang pada detak jantungmu.

aku ingin merangkai pilumu di hembusan angin agar kau tak mengenal air mata. namun pelita yang kugengam dilahap api sunyi. bertimbun badai mengokah darahku. aku juga hanya pengembara duka. di padang nestapa diriku dan dirimu terpenjara.

pada hati yang memelihara bara, kita masih bisa menyulam hari yang akan menjelang.